Jumat, 29 November 2013

Teks Pidato : Apatisme di Indonesia



Nah, mumpung abis ada tugas lagi nih, saya akan memposting hasil tugas saya. Kebetulan tugasnya di mata pelajaran Bahasa Indonesia, jadi postingan kali ini adalah teks pidato. Tema-nya yaitu Apatisme di Indonesia. Selamat membaca! ^^

APATISME DI INDONESIA  
  
Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Yang terhormat Bapak Subandi selaku guru pembimbing, dan teman-teman yang saya sayangi. Marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. atas nikmat dan rahmat-Nya kita bisa berkumpul disini dalam keadaan sehat wal afiat tidak kurang suatu apapun. Disini mohon izinkanlah saya untuk membacakan pidato yang bertema Apatisme di Indonesia.

Apatisme sering dijumpai di lingkungan masyarakat. Apatis adalah paham seseorang yang bersikap acuh terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, baik itu dalam hal sosial, budaya, ekonomi, ataupun politik. Tak sedikit generasi muda yang memelihara apatisme dalam pikirannya secara tidak sadar.

Di Indonesia, apatisme dapat dikatakan telah menjadi tradisi buruk yang mendarah daging dalam sebagian generasi bangsa. Tak dapat dipungkiri bahwa setiap generasi memiliki sikap apatis yang semakin besar. Semakin besarnya sikap apatis tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain sifat bawaan, pengaruh dari orang lain, dan perasaan tidak mengharapkan sesuatu sehingga saat sesuatu itu ada, orang tersebut tidak mau mengakuinya dan menjadi tidak peduli terhadap sesuatu tersebut.

Dikaitkan dengan kondisi saat ini, ada satu faktor penting yang begitu mempengaruhi apatisme pada generasi penerus bangsa, yaitu Globalisasi. Selain membawa dampak positif berupa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Globalisasi berdampak buruk bagi kehidupan sosial manusia. Dulu, manusia harus saling bertatap muka untuk bisa berkomunikasi satu sama lain, namun berkat sebuah proses bernama Globalisasi ini, tidak perlu lagi ada pertemuan secara langsung untuk bisa melakukan komunikasi. Cukup dengan membuka internet, klik sana klik sini, seseorang sudah bisa berkomunikasi dengan orang yang jaraknya belum tentu diketahui.

Sedikit banyak, Globalisasi telah “membisukan” mulut manusia yang secara alamiah berfungsi untuk berbicara. Pada akhirnya, kondisi tersebut akan menggiring manusia untuk tidak lagi menggunakan insting sosialnya. Itulah alasan mengapa Globalisasi sangat berpengaruh terhadap sikap apatis yang melanda generasi muda si seluruh Indonesia.

Menjamurnya sikap apatis di kalangan pemuda tercermin dalam berbagai kegiatan remeh dan sepele. Sebagai contoh apatis tingkat rendah, di sekolah-sekolah banyak murid yang ketika melihat sampah berserakan di halaman sekolahnya, dengan alasan lelah karena pelajaran, enggan untuk memungutnya dan meletakkan sampah itu di tempat yang seharusnya. Ini adalah bentuk sikap apatis rendah yang merugikan lingkungan.

Selain contoh apatis tingkat rendah tadi, ada sebuah contoh apatis tingkat tinggi yang sudah umum terjadi di Indonesia, yaitu golongan putih alias golput. Satu masalah yang remeh, namun dengan tiap satu orang yang memilih golput, integritas bangsa Indonesia sudah mampu diruntuhkan. Golput berdemonstrasi di mana-mana, menuntut hak mereka dipenuhi. Namun begitu hak mereka ada di tangan, mereka menyia-nyiakannya dengan jalan golput tadi. Seandainya nanti yang terpilih oleh mayoritas pemilih adalah orang yang salah, pantaskah Golput berdemo lagi?

Peng-indonesia-an kembali adalah salah satu cara jitu yang diharapkan bisa menumpas apatisme dan kembali menumbuhkan rasa nasionalisme di lubuk hati pemuda-pemudi Indonesia. Layaknya penghijauan kembali hutan gundul, peng-indonesia-an kembali juga butuh waktu dan proses. Pendidikan karakter adalah salah satu jalan yang paling mungkin ditempuh untuk melancarkan peng-indonesia-an kembali ini. Pendidikan sebagai sarana sosialisasi terbaik selain keluarga, sangat mungkin juga mampu menjadi sarana penumbuhan nasionalisme. Tujuan umum sebuah sekolah memang menciptakan lulusan yang hebat di iptek dan kuat di imtaq, tetapi pasti lebih baik bila nasionalisme juga dijadikan tujuan sekolah dengan tingkat prioritas yang sama dengan dua tujuan tersebut.

Permasalahan apatisme ini tidak akan bisa teratasi selama sosok contoh yang benar-benar bisa membangkitkan nasionalisme tidak ada karena generasi muda sekarang cenderung meniru apa yang dilihat, bukan meniru apa yang didengar. Jadi, selama masih ada waktu, tidak ada salahnya jika generasi muda memulai peng-indonesia-an kembali dari diri sendiri sebab tidak akan terjadi apa-apa jika menunggu memulai dari orang lain sebelum memulai dari diri sendiri.

Sekian pidato dari saya, semoga apa yang saya sampaikan tadi bermanfaat dan mampu menggugah sedikit nasionalisme para hadirin disini. Dan saya mohon maaf bila ada kekurangan maupun salah kata. Terima kasih, Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Sabtu, 09 Maret 2013

Monolog - Cerita Untuk Sahabat




Ah, udah lama nggak posting nih :D

Kali ini aku mau berbagi hasil imajinasiku yang berbentuk naskah monolog *hasil ujian praktek seni teater* yang berjudul "Cerita Untuk Sahabat". Monolog ini tentang seorang gadis yang sedang ziarah ke pemakaman salah seorang sahabatnya. Lalu Ia bercerita pada sahabatnya itu.
Selamat membaca, semoga bermanfaat! *Maaf kalau jelek* (^^)b 


Cerita Untuk Sahabat

Pagi itu, matahari tak menampakkan sinarnya. Hujan turun dengan perlahan, membasahi kota dan menyapa orang-orang yang bersiap-siap untuk beraktivitas. Sarah, seorang gadis berusia 20 tahun, berjalan menuju pemakaman sahabatnya. Tangannya memegang payung dan membawa keranjang berisi bunga-bunga yang masih harum dan segar.

          (tersenyum pada batu nisan itu, berlutut lalu menebarkan bunga-bunga ke atas pemakaman) “Selamat pagi Aisyah. Bagaimana tidurmu? Apakah nyenyak?”

          “Oh ya, kemarin aku datang ke rumahmu untuk pengajian. Tak terasa sudah seribu hari engkau meninggalkanku. Tapi aku masih ingat betul kenangan kita saat tertawa bersama di kelas, belajar bersama di rumahmu, dan saat kita pergi ke puncak. Benar-benar kenangan yang indah. Tapi, aku tak mau mengingat-ingat lagi kejadian tragis yang memisahkan kita di puncak itu.”

          “Hmm.. Kau tahu? Aku sangat rindu padamu, Aisyah. Akhir-akhir ini kau sering muncul dalam mimpiku. Mungkin kau juga rindu padaku ya?”

          “Oh ya, sekarang aku sudah menjadi mahasiswi Jurusan Sastra Inggris. Benar-benar membutuhkan kerja keras untuk bisa masuk ke perguruan tinggi. Teman-teman kita juga banyak yang masuk perguruan tinggi favorit, bahkan ada juga yang mendapatkan beasiswa. Aku senang mendengar kabar itu. Kuharap engkau juga turut bahagia mendengarnya.”

          (melihat jam tangan) “Oh, sudah waktunya aku pergi ke kampus. Aisyah, aku pergi dulu ya. Lain kali jika ada waktu lagi, aku akan menyempatkan diri untuk mengunjungimu. Selamat pagi Aisyah, aku merindukanmu. (bangkit, lalu pergi meninggalkan pemakaman)

Rabu, 13 Juni 2012

Serba-Serbi Tari Piring



Tari Piring atau dalam bahasa Minangkabau disebut dengan Tari Piriang adalah salah satu seni tari tradisonal di Minangkabau yang berasal dari kota Solok, provinsi Sumatera Barat. Tarian ini dimainkan dengan menggunakan piring sebagai media utama. Piring-piring tersebut kemudian diayun dengan gerakan-gerakan cepat yang teratur, tanpa terlepas dari genggaman tangan.

Sejarah
Pada awalnya, tari ini merupakan ritual ucapan rasa syukur masyarakat setempat kepada dewa-dewa setelah mendapatkan hasil panen yang melimpah ruah. Ritual dilakukan dengan membawa sesaji dalam bentuk makanan yang kemudian diletakkan di dalam piring sembari melangkah dengan gerakan yang dinamis.

Setelah masuknya agama Islam ke Minangkabau, tradisi tari piring tidak lagi digunakan sebagai ritual ucapan rasa syukur kepada dewa-dewa. Akan tetapi, tari tersebut digunakan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat banyak yang ditampilkan pada acara-acara keramaian, misalnya seperti pada acara pesta perkawinan.

Mengenai waktu kemunculan pertama kali tari piring ini belum diketahui pasti, tapi dipercaya bahwa tari piring telah ada di kepulauan melayu sejak lebih dari 800 tahun yang lalu. Tari piring juga dipercaya telah ada di Sumatra barat dan berkembang hingga pada zaman Sri Wijaya. Setelah kemunculan Majapahit pada abad ke 16 yang menjatuhkan Sri Wijaya, telah mendorong tari piring berkembang ke negeri-negeri melayu yang lain bersamaan dengan pelarian orang-orang Sri Wijaya saat itu.

Urutan Seni Tari Piring
Pada Seni Tari Piring dapat dilakukan dalam berbagai cara atau versi, hal itu semua tergantung dimana tempat atau kampung dimana Tarian Piring itu dilakukan. Namun tidak begitu banyak perbedaan dari Tari Piring yang dilakukan dari satu tempat dengan tempat yang lainnya, khususnya mengenai konsep, pendekatan dan gaya persembahan. Secara keseluruhannya, untuk memahami bagaimana sebuah Tari Piring disajikan, di bawah ini merupakan urutan atau susunan sebuah persembahannya.

1.    Persiapan Awal
Sudah menjadi kebiasaan bahwa sebuah persembahan kesenian harus dimulakan dengan persediaan yang rapi. Sebelum sebuah persembahan diadakan, selain latihan untuk mewujudkan kecakapan, para penari Tari Piring juga harus mempunyai latihan penafasan yang baik agar tidak kacau sewaktu membuat persembahan.

Menjelang hari atau masa persembahan, para penari Tari Piring harus memastikan agar piring-piring yang mereka akan gunakan berada dalam keadaan baik. Piring yang retak atau sumbing harus digantikan dengan yang lain, agar tidak membahayakan diri sendiri atau orang ramai yang menonton. Ketika ini juga penari telah memutuskan jumlah piring yang akan digunakan.

Segera setelah berakhir persembahan Silat Pulut (khususnya pada acara pernikahan) di hadapan pasangan pengantin, piring-piring akan diatur dalam berbagai bentuk dan susunan di hadapan pasangan pengantin mengikut jumlah yang diperlukan oleh penari Tari Piring dan kesesuaian kawasan. Dalam masa yang sama, penari Tari Piring telah bersiap sedia dengan menyarungkan dua bentuk cincin khas, yaitu satu di jari tangan kanan dan satu di jari tangan kiri. Penari ini kemudian memegang piring atau ceper yang tidak retak atau sumbing.

2.  Mengawali Tarian
Tari Piring akan diawali dengan rebana dan gong yang dimainkan oleh para pemusik. Penari akan memulai Tari Piring dengan ’sembah pengantin’ sebanyak tiga kali sebagai tanda hormat kepada pengantin tersebut yaitu; sembah pengantin tangan di hadapan sembah pengantin tangan di sebelah kiri sembah pengantin tangan di sebelah kanan

3.  Saat Menari
Selesai dengan tiga peringkat sembah pengantin, penari Tari Piring akan memulakan tariannya dengan mencapai piring yang di letakkan di hadapannya serta mengayun-ayunkan tangan ke kanan dan kiri mengikut rentak musik yang dimainkan. Kemudian, penari akan berdiri dan bertapak atau memijak satu persatu piring-piring yang telah disusun lebih awal tadi sambil menuju ke arah pasangan pengantin di hadapannya.

Pada umumnya, penari Tari Piring akan memastikan bahwa semua piring yang telah diatur tersebut dipijak. Setelah semua piring selesai dipijak, penari Tari Piring akan memundurkan langkahnya dengan memijak semula piring yang telah disusun tadi. Penari tidak boleh membelakangi pengantin.

Dalam masa yang sama, kedua tangan akan berterusan dihayun ke kanan dan ke kiri sambil menghasilkan bunyi “ting ting ting ting..” yaitu hasil ketukan jari-jari penari yang telah disarung cincin dangan bagian bawah piring. Sesekali, kedua telapak tangan yang membawa piring akan diputar-putarkan ke atas dan ke bawah disamping seolah-olah memutar-putarkan di atas kepala.

4.  Mengakhiri Tarian
Sebuah sajian Tari Piring oleh seseorang penari akan berakhir apabila semua piring telah dipijak dan penari menutup sajiannya dengan melakukan sembah penutup atau sembah pengantin sekali lagi. Sembah penutup juga diakhiri dengan tiga sembah pengantin dengan susunan berikut; sembah pengantin tangan sebelah kanan sembah pengantin tangan sebelah kiri sembah pengantin tangan sebelah hadapan.

Alat Musik yang Digunakan
Alat musik yang digunakan untuk mengiringi Tari Piring, cukup dengan pukulan Rebana dan Gong saja. Pukulan Gong penting sekali karena Ia akan menjadi panduan kepada penari untuk menentukan langkah dan gerak Tari Piringnya. Pada umumnya, kumpulan Rebana yang mengiringi dan mengarak pasangan pengantin diberi tanggung jawab untuk mengiringi persembahan Tari Piring. Namun, dalam keadaan tertentu Tari Piring boleh juga diiringi oleh alat musik lain seperti Talempong dan Gendang.

Jumlah Penari dan Pakaian
Jumlah penari biasanya berjumlah ganjil yang terdiri dari tiga sampai tujuh orang. Kombinasi musik yang cepat dengan gerak penari yang begitu lincah membuat pesona Tari Piring begitu menakjubkan. Pakaian yang digunakan para penaripun haruslah pakaian yang cerah, dengan nuansa warna merah dan kuning keemasan.

Makna dari Prosesi Tari Piring
Tari Piring dikatakan tercipta dari ”wanita-wanita cantik yang berpakaian indah, serta berjalan dengan lemah lembut penuh kesopanan dan ketertiban ketika membawa piring berisi makanan yang lezat untuk dipersembahkan kepada dewa-dewa sebagai sajian. Wanita-wanita ini akan menari sambil berjalan, dan dalam masa yang sama menunjukan kecakapan mereka membawa piring yang berisi makanan tersebut”.

Kedatangan Islam telah membawa perubahan kepada kepercayaan dan konsep tarian ini. Tari Piring tidak lagi dipersembahkan kepada dewa-dewa, tetapi untuk acara-acara yang dihadiri bersama oleh raja-raja atau pembesar negeri.

Keindahan dan keunikan Tari Piring telah mendorong kepada perluasan persembahannya dikalangan rakyat jelata, yaitu di acara-acara perkawinan yang melibatkan persandingan. Dalam hal ini, persamaan konsep masih wujud, yaitu pasangan pengantin masih dianggap sebagai raja yaitu ‘Raja Sehari’ dan layak dipersembahkan Tari Piring di hadapannya ketika bersanding.

Seni Tari Piring mempunyai peranan yang besar di dalam adat istiadat perkawinan masyarakat Minangkabau. Pada dasarnya, tujuan persembahan sebuah Tari Piring di acara-acara perkawinan adalah untuk hiburan semata-mata. Namun persembahan tersebut boleh berperanan lebih dari pada itu. Persembahan Tari Piring di dalam sesebuah acara perkawinan boleh dirasakan peranannya oleh empat pihak yaitu; kepada pasangan pengantin, kepada tuan rumah, kepada orang ramai, dan kepada penari sendiri.

Pada umumnya, pakaian yang berwarna-warni dan cantik adalah hal wajib bagi sebuah tarian. Tetapi pada Tari Piring, sudah cukup dengan berbaju Melayu dan bersamping saja. Warna baju juga itu terserah kepada penari sendiri untuk menentukannya. Namun, warna-warna terang seperti merah dan kuning sering menjadi pilihan kepada penari Tari Piring kerana ia lebih mudah di lihat oleh penonton.