Rabu, 13 Juni 2012

Serba-Serbi Tari Piring



Tari Piring atau dalam bahasa Minangkabau disebut dengan Tari Piriang adalah salah satu seni tari tradisonal di Minangkabau yang berasal dari kota Solok, provinsi Sumatera Barat. Tarian ini dimainkan dengan menggunakan piring sebagai media utama. Piring-piring tersebut kemudian diayun dengan gerakan-gerakan cepat yang teratur, tanpa terlepas dari genggaman tangan.

Sejarah
Pada awalnya, tari ini merupakan ritual ucapan rasa syukur masyarakat setempat kepada dewa-dewa setelah mendapatkan hasil panen yang melimpah ruah. Ritual dilakukan dengan membawa sesaji dalam bentuk makanan yang kemudian diletakkan di dalam piring sembari melangkah dengan gerakan yang dinamis.

Setelah masuknya agama Islam ke Minangkabau, tradisi tari piring tidak lagi digunakan sebagai ritual ucapan rasa syukur kepada dewa-dewa. Akan tetapi, tari tersebut digunakan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat banyak yang ditampilkan pada acara-acara keramaian, misalnya seperti pada acara pesta perkawinan.

Mengenai waktu kemunculan pertama kali tari piring ini belum diketahui pasti, tapi dipercaya bahwa tari piring telah ada di kepulauan melayu sejak lebih dari 800 tahun yang lalu. Tari piring juga dipercaya telah ada di Sumatra barat dan berkembang hingga pada zaman Sri Wijaya. Setelah kemunculan Majapahit pada abad ke 16 yang menjatuhkan Sri Wijaya, telah mendorong tari piring berkembang ke negeri-negeri melayu yang lain bersamaan dengan pelarian orang-orang Sri Wijaya saat itu.

Urutan Seni Tari Piring
Pada Seni Tari Piring dapat dilakukan dalam berbagai cara atau versi, hal itu semua tergantung dimana tempat atau kampung dimana Tarian Piring itu dilakukan. Namun tidak begitu banyak perbedaan dari Tari Piring yang dilakukan dari satu tempat dengan tempat yang lainnya, khususnya mengenai konsep, pendekatan dan gaya persembahan. Secara keseluruhannya, untuk memahami bagaimana sebuah Tari Piring disajikan, di bawah ini merupakan urutan atau susunan sebuah persembahannya.

1.    Persiapan Awal
Sudah menjadi kebiasaan bahwa sebuah persembahan kesenian harus dimulakan dengan persediaan yang rapi. Sebelum sebuah persembahan diadakan, selain latihan untuk mewujudkan kecakapan, para penari Tari Piring juga harus mempunyai latihan penafasan yang baik agar tidak kacau sewaktu membuat persembahan.

Menjelang hari atau masa persembahan, para penari Tari Piring harus memastikan agar piring-piring yang mereka akan gunakan berada dalam keadaan baik. Piring yang retak atau sumbing harus digantikan dengan yang lain, agar tidak membahayakan diri sendiri atau orang ramai yang menonton. Ketika ini juga penari telah memutuskan jumlah piring yang akan digunakan.

Segera setelah berakhir persembahan Silat Pulut (khususnya pada acara pernikahan) di hadapan pasangan pengantin, piring-piring akan diatur dalam berbagai bentuk dan susunan di hadapan pasangan pengantin mengikut jumlah yang diperlukan oleh penari Tari Piring dan kesesuaian kawasan. Dalam masa yang sama, penari Tari Piring telah bersiap sedia dengan menyarungkan dua bentuk cincin khas, yaitu satu di jari tangan kanan dan satu di jari tangan kiri. Penari ini kemudian memegang piring atau ceper yang tidak retak atau sumbing.

2.  Mengawali Tarian
Tari Piring akan diawali dengan rebana dan gong yang dimainkan oleh para pemusik. Penari akan memulai Tari Piring dengan ’sembah pengantin’ sebanyak tiga kali sebagai tanda hormat kepada pengantin tersebut yaitu; sembah pengantin tangan di hadapan sembah pengantin tangan di sebelah kiri sembah pengantin tangan di sebelah kanan

3.  Saat Menari
Selesai dengan tiga peringkat sembah pengantin, penari Tari Piring akan memulakan tariannya dengan mencapai piring yang di letakkan di hadapannya serta mengayun-ayunkan tangan ke kanan dan kiri mengikut rentak musik yang dimainkan. Kemudian, penari akan berdiri dan bertapak atau memijak satu persatu piring-piring yang telah disusun lebih awal tadi sambil menuju ke arah pasangan pengantin di hadapannya.

Pada umumnya, penari Tari Piring akan memastikan bahwa semua piring yang telah diatur tersebut dipijak. Setelah semua piring selesai dipijak, penari Tari Piring akan memundurkan langkahnya dengan memijak semula piring yang telah disusun tadi. Penari tidak boleh membelakangi pengantin.

Dalam masa yang sama, kedua tangan akan berterusan dihayun ke kanan dan ke kiri sambil menghasilkan bunyi “ting ting ting ting..” yaitu hasil ketukan jari-jari penari yang telah disarung cincin dangan bagian bawah piring. Sesekali, kedua telapak tangan yang membawa piring akan diputar-putarkan ke atas dan ke bawah disamping seolah-olah memutar-putarkan di atas kepala.

4.  Mengakhiri Tarian
Sebuah sajian Tari Piring oleh seseorang penari akan berakhir apabila semua piring telah dipijak dan penari menutup sajiannya dengan melakukan sembah penutup atau sembah pengantin sekali lagi. Sembah penutup juga diakhiri dengan tiga sembah pengantin dengan susunan berikut; sembah pengantin tangan sebelah kanan sembah pengantin tangan sebelah kiri sembah pengantin tangan sebelah hadapan.

Alat Musik yang Digunakan
Alat musik yang digunakan untuk mengiringi Tari Piring, cukup dengan pukulan Rebana dan Gong saja. Pukulan Gong penting sekali karena Ia akan menjadi panduan kepada penari untuk menentukan langkah dan gerak Tari Piringnya. Pada umumnya, kumpulan Rebana yang mengiringi dan mengarak pasangan pengantin diberi tanggung jawab untuk mengiringi persembahan Tari Piring. Namun, dalam keadaan tertentu Tari Piring boleh juga diiringi oleh alat musik lain seperti Talempong dan Gendang.

Jumlah Penari dan Pakaian
Jumlah penari biasanya berjumlah ganjil yang terdiri dari tiga sampai tujuh orang. Kombinasi musik yang cepat dengan gerak penari yang begitu lincah membuat pesona Tari Piring begitu menakjubkan. Pakaian yang digunakan para penaripun haruslah pakaian yang cerah, dengan nuansa warna merah dan kuning keemasan.

Makna dari Prosesi Tari Piring
Tari Piring dikatakan tercipta dari ”wanita-wanita cantik yang berpakaian indah, serta berjalan dengan lemah lembut penuh kesopanan dan ketertiban ketika membawa piring berisi makanan yang lezat untuk dipersembahkan kepada dewa-dewa sebagai sajian. Wanita-wanita ini akan menari sambil berjalan, dan dalam masa yang sama menunjukan kecakapan mereka membawa piring yang berisi makanan tersebut”.

Kedatangan Islam telah membawa perubahan kepada kepercayaan dan konsep tarian ini. Tari Piring tidak lagi dipersembahkan kepada dewa-dewa, tetapi untuk acara-acara yang dihadiri bersama oleh raja-raja atau pembesar negeri.

Keindahan dan keunikan Tari Piring telah mendorong kepada perluasan persembahannya dikalangan rakyat jelata, yaitu di acara-acara perkawinan yang melibatkan persandingan. Dalam hal ini, persamaan konsep masih wujud, yaitu pasangan pengantin masih dianggap sebagai raja yaitu ‘Raja Sehari’ dan layak dipersembahkan Tari Piring di hadapannya ketika bersanding.

Seni Tari Piring mempunyai peranan yang besar di dalam adat istiadat perkawinan masyarakat Minangkabau. Pada dasarnya, tujuan persembahan sebuah Tari Piring di acara-acara perkawinan adalah untuk hiburan semata-mata. Namun persembahan tersebut boleh berperanan lebih dari pada itu. Persembahan Tari Piring di dalam sesebuah acara perkawinan boleh dirasakan peranannya oleh empat pihak yaitu; kepada pasangan pengantin, kepada tuan rumah, kepada orang ramai, dan kepada penari sendiri.

Pada umumnya, pakaian yang berwarna-warni dan cantik adalah hal wajib bagi sebuah tarian. Tetapi pada Tari Piring, sudah cukup dengan berbaju Melayu dan bersamping saja. Warna baju juga itu terserah kepada penari sendiri untuk menentukannya. Namun, warna-warna terang seperti merah dan kuning sering menjadi pilihan kepada penari Tari Piring kerana ia lebih mudah di lihat oleh penonton.

Minggu, 15 April 2012

Misteri Di Hutan Kegelapan

Leo berjalan dengan di tengah hutan dekat rumahnya. Saat itu, di merasa telah kehilangan separuh jiwanya setelah ditinggal mati oleh Lexy, sahabat sejati yang selalu menemaninya sejak kecil. Ia mati karena mengalami kecelakaan hebat yang terjadi dua hari yang lalu. Dan sekarang ini, tanpa rasa takut sedikit pun, Leo berjalan seorang diri di hutan tanpa tujuan yang jelas. Padahal, langit sudah mulai gelap dan para penebang kayu terlihat berjalan pulang. Tetapi, Ia tetap terus berjalan dan berjalan. Tanpa terasa, Ia sudah jauh meninggalkan rumahnya.

          Tiba-tiba, langkahnya terhenti saat Ia mendengar suara tangisan wanita di balik semak-semak. Seketika, jantungnya berdegup kencang dan wajahnya pucat pasi. Ia ketakutan dan bingung, apa yang harus dilakukannya saat ini. Langit sudah gelap dan Ia nyaris tak bisa melihat sekitarnya. Akhirnya, Ia memutuskan untuk memberanikan diri melihat siapa yang ada di balik semak-semak. Perlahan-lahan Ia berjalan ke arah semak-semak itu. Dan Ia sangat terkejut sekaligus kagum, karena yang Ia lihat adalah seorang wanita cantik memakai baju putih. Wanita itu menoleh ke arah Leo sambil sedikit tersenyum.

“Siapa nama kakak? Kakak tinggal dimana? Dan mengapa kakak menangis disini?” tanya Leo pada wanita itu.

“Namaku Luna. Aku tinggal di desa Barat. Aku menangis karena aku sangat sedih saat ini.” jawab wanita yang bernama Luna itu.

“Mengapa Kak Luna sedih? Aku sekarang juga sama sedihnya dengan kakak.”

“Aku sedih karena, saat berjalan-jalan di tengah hutan, aku melihat kakakku berjalan seorang diri. Tapi, tiba-tiba Ia terpleset dan jatuh ke jurang. Aku tak bisa menolongnya.” Kata Luna sambil menangis.

“Oh.. Yang sabar ya Kak. Aku juga sama sedihnya dengan kakak saat ini. Karena, sahabatku meninggal kemarin. Dan aku merasa seperti kehilangan semangat hidup.” hibur Leo.

Leo yang saat itu merasa kelelahan setelah berjalan cukup jauh, akhirnya duduk di sebelah Luna. Mereka sama-sama diam, menikmati dinginnya udara malam hari dan merenungi apa yang telah terjadi hari ini. Kemudian, Leo ingin bertanya pada Luna.

“Kak, apakah kakak tahu cara keluar dari hutan ini?”

“Tergantung. Dimana letak rumahmu? Di desa Barat atau desa timur?” tanya Luna.

“Rumahku di desa Timur.” jawab Leo.

“Oh.. Kalau aku pernah dengar dari tetanggaku, jika rumahmu di desa Timur, kamu bisa pulang dengan mudah. Saat pukul 5 pagi, matahari akan terbit di sebelah timur. Kamu tinggal berjalan menuju asal cahaya matahari itu terbit.” jelas Luna.

“Apakah kakak yakin?” tanya Leo dengan ragu.

“Kakak yakin itu cara yang benar.” jawab Luna meyakinkan Leo.

“Oh.. Kalau begitu, terima kasih atas bantuannya ya kak.”

“Sama-sama.”

Karena mengantuk, mereka lalu tertidur pulas. Keesokan harinya, Leo terbangun karena cahaya matahari pagi yang sangat menyilaukan. Ia gembira karena hari sudah pagi. Itu tandanya, Ia bisa pulang dengan mudah. Tetapi, dimana Kak Luna? Ia bertanya-tanya dalam hati. Kemudian, tak sengaja Ia melihat ke bawah. Di tanah itu, terdapat tulisan tangan yang berbunyi “Semangatlah untuk menjalani hidup, Leo!”. Ia tersenyum sambil berkata, “Terima kasih kak.”

Akhirnya, Ia segera berlari menuju arah cahaya matahari untuk pulang. Tak lama kemudian, Ia sudah keluar dari hutan dan Ia bisa melihat rumah-rumah tetangganya. Kemudian, Ia berjalan menuju rumahnya.

Di rumah, Ibunya segera membukakan pintu. Ibunya terkejut sekaligus menangis bahagia karena anaknya telah pulang dan langsung memeluk anaknya itu.

“Kamu kemana saja nak? Ibu bingung mencarimu kemarin!” tanya ibu.

“Maafkan Leo, bu. Aku telah membuatmu bingung dan khawatir. Aku kemarin tersesat di hutan. Aku tak tahu jalan pulang karena hari sudah malam. Untungnya aku bertemu dengan seorang wanita bernama Kak Luna. Ia memberitahuku jalan untuk keluar dari hutan” Leo menceritakannya.

“Oh.. Luna? Ibu rasa, ibu pernah mendengar nama itu. Apakah dia tinggal di desa Barat?” tanya ibu penasaran.

Betul bu.” jawab Leo.

Ibu terbelalak kaget mendengar jawaban Leo. Seketika Leo bertanya, “Ada apa ibu? Kok kelihatannya sangat kaget gitu?”

“Orang itu sudah lama mati, nak! Sekitar lima tahun yang lalu. Dia mati karena jatuh ke jurang dan sampai sekarang, tak ada yang bisa menemukan jasadnya. Itu salah satu misteri di hutan itu.”

Leo tak kalah kagetnya dengan ibu. Bagaimana dia bisa bertemu dengan orang yang sudah mati? Ia sangat penasaran dengan apa yang telah dialaminya malam itu.

Tapi, sudahlah! Tak usah dipikirkan! Yang penting kamu sudah di rumah dan tak ada yang terjadi pada dirimu.” kata ibu sambil memeluk Leo.

Leo pun membalas pelukan ibunya. Sejak saat itu, ia tidak pernah mengunjungi hutan itu lagi. Cukup pengalaman aneh itu saja yang pernah dialaminya.